Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.
1. Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.mTugas Depernas antara lain :
- Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana
- Menilai Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
2. Pemotongan Nilai Uang
Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Tujuan dilakukan sanering adalah :
- Untuk membendung inflasi yang tetap tinggi
- Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
- Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai pemotongan nilai uang, yaitu sebagai berikut.
- Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
- Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
- Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut. Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini disebabkan karena :
- Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun.
- Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.
- Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.
Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp1000 dan Rp500 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100 dan Rp50 sebelum tanggal 1 Januari 1960.
3. Konsep Djuanda
Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI Jawa Barat dan pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda. Namun konsep ini mati sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena dianggap bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.
4. Deklrasai Ekonomi
Deklarasi Ekonomi (Dekon) adalah Deklarasi yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963 di Jakarta, untuk menciptakan ekonomi nasional yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialism dan system ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin.
Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri dari beberapa tahap; Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme. Tahapan ini merupakan persiapan menuju tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis. Beberapa peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan menarik modal luar negeri serta merasionalkan ongkos produksi dan menghentikan subsidi.
Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik yang memberi tafsir sendiri terhadap Dekon. PKI termasuk partai yang menolak melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam penyusunannya, selama yang melaksanakannya bukan orang PKI. Empat belas peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh PKI telah menyerah kepada kaum imperialis. Presiden Soekarno akhirnya menunda pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut pada bulan September 1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.
5. Kenaikan Laju Inflasi
Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara setiap tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara yang memadai. Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau mercusuar, dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri. Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :
- Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.
- Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan
- Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar.
- Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
- Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil.
- Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh
- Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
- Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.
- Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Dampaknya :
- Inflasi semakin bertambah tinggi
- Harga-harga semakin bertambah tinggi, kenaikan barang mencapai 200-300% pada tahun 1965
- Kehidupan masyarakat semakin terjepit
- Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa
- Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.
- Tahun 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo
- negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
- Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.
- Pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1
Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :
- Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru.
- Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
Tindakan penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksiaksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Show Disqus Comment Hide Disqus Comment